Sabtu, 14 Mei 2011

Ketimbang Legalisasi NARKOBA, Mending Legalisasi ‘OJEG’..



Sebelum menulis tulisan ini, saya sempat mendengar kabar bahwa dari media Massa, bahwa ada wacana untuk melegalisasi penggunaan daun ganja. wacana ini di wacanakan karena menurut penelitian di negeri Belanda menyebutkan bahwa daun ganja tidak dapat merusak Tubuh. Penelitian ini seakan-akan mengubur pendapat kita sekaligus pemerhati masalah sosial di Indonesia yang menyoroti masalah ganja ini yang menyebutkan bahwa daun ganja merupakan sesuatu benda yang berbahaya bagi Tubuh kita. sehingga, ganja di goolongkan kedalam golongan zat adiktif, dan psikotropika atau orang awam menyebutkan dalam sebutan NARKOBA. bahkan wacana ini di dukung oleh sebuah komunitas “pecinta” daun ganja agar segera di legal-kan di negeri yang penuh aturan keagamaan ini. mendengar adanya wacana tersebut, segala elemen masyarakat sontak mengeluarkan pendapatnya. termasuk saya sangat gregetan untuk mengeluarkan pendapat saya mengenai wacana gila tersebut. menurut saya melegalkan penggunaan daun ganja berarti kita membiarkan bangsa ini untuk menggali kuburanya sendiri. karena saya percaya daun ganja dapat membuat para pengguna nya kecanduan, hal ini diperkuat dengan perkataan teman saya yang saat ini sedang studi di Singapura menyebutkan “daun ganja dapat membuat penggunaa nya menjadi kecanduaan”, bila diri pengguna nya telah kecanduan, dapat saja membuat para pengguna nya menjadi gelap mata tidak dapat membedakkan antara yang baik atau buruk lagi. sehingga bila ini terjadi ditakutkan hal ini dapat memicu tindakan kejahatan yang semakin tinggi dan meluas. apabila ini terjadi ditakutkan negara ini semakin bertambah banyak permasalahan nya, yang pada akhirnya negara ini masuk kedalam lubang kubur yang digali para penguasa nya.

melihat kemungkinan seluruh dampak yang bakal terjadi, apabila wacana melegalkan penggunaan ganja. saya fikir sudah tepat bila pemerinta melalui kementerian terkait, mencegah wacana itu semakin menjadi besar, dengan mengatakan “pemerintah tidak akan melegalkan penggunaan ganja di Indonesia”. dengan keluar pernyataan seperti itu, terbukti dapat mengubur wacana gila tersebut, meskipun saat ini tersiar kabar melalui menteri yang sama bahwa “pengguna heroin, dan shabu2 dibawah 1gram tidak akan dihukum, melainkan hanya di rehabilitasi saja” sebuah kabar yang menyebutkan ada wacana melegalkan NARKOBA di negara ber-perikeTuhan-an ini. hmm.. kita tunggu saja dinamika yang terjadi terhadap wacana-wacana gila ini. melihat wacana-wacana ini hati nurani saya merasa terusik ingin berteriak. rasanya saya ingin teriakan “rezim macam apa ini yang sedang berkuasa di negara kita ..!!!”

melihat keterbatasan mimbar untuk teriak di Kompasiana ini, dan tampaknya bila saya paksakan akan berakhir sia-sia belaka. mengacu pada hal tersebut saya akan berteriak menggunakan cara saya sendiri. sebuah cara yang insya ALLAH lebih Soft. melaui tulisan ini, saya ingin mengajak pemerintah untuk berfikir secara sehat. daripada melegalkan benda-benda sakit yang terkait NARKOBA, mending negara ini melegalkan transportasi yang bernama ‘ojeg’.. ya sebuah Transportasi alternatif, yang muncul entah dari kapan di Indonesia pada umumnya, atau di Jakarta pada khususnya. untuk para pembaca yang sehari-hari menggunakan sarana angkutan Umum, pasti mengenal transportasi umum yang satu ini. moda transportasi yang mengandalkan kendaraan sepeda motor, dan pada umumnya transportasi ini melaju dengan kecepatan tinggi. walaupun ‘ojeg’ disebut transportasi umum kendaraan yang digunakan untuk meng-’ojeg’ ini menggunakan plat nomer berwarna hitam, bukan seperti plat nomer yang biasa melekat di transportasi massal lain, seperti angkutan kota, bis kota, hingga Bus Way. hal ini lah yang menjadi pertanyaan, melihat dari warna plat nomer ini apakah ‘ojeg’ itu merupakan transportasi massal yang legal atau tidak.. apabila legal mengapa ongkos untuk membayar ‘ojeg’ tersbut tidak ter-standar, seperti ribuan pengalaman saya menaiki transportasi ‘ojeg’. pengalaman tersering saya menaiki ‘ojeg’ adalah dari rumah saya ke terminal pinang ranti. saya biasanya menaiki ‘ojeg’ tidak terpaku dari satu pangkalan yang sama. karena saya kerap naik dar pangkalan yang berbeda. dan anehnya setiap pangkalan yang saya naiki untuk menuju terminal pinang ranti tersebut menarik ongkos yang berbeda-beda, antara 15ribu hingga 22ribu. padahal saya naik dari pangkalan ‘ojeg’ yang masih satu wilayah. hmm..bagi saya masih kuliah ongkos sebesar itu saya merasa sangat besar, sudah serasa naik taksi dari UKI ke kampus saya yang terletak di jalan Gatot Subroto, Jakarta selatan. bila saya naik taksi dari UKI ke kampus, saya mengeluarkan ongkos sebesar 22-25ribu. bila melihat perbandingan singkat itu, tampaknya sangat menggelikan dengan besaran ongkos yang ditarik oleh para tukang ‘ojeg’.

melihat realita yang menggelikan sekaligus menyebalkan tersebut, tampaknya sudah saatnya pemerintah mengeluarkan wacana untuk MELEGALISASI ‘OJEG’, dengan langkah pertama menyamakan plat nomer kendaraan ‘ojeg’ dengan plat nomer Kuning, seperti plat nomer transportasi massal lainnya. langkah kedua membuat aturan standart mengenai ongkos ‘ojeg’, dan langkah yang terakhir adalah memberikan proteksi pengemudi, serta pengguna ‘ojeg’ dengan proteksi asuransi. hal ini penting karena biasa nya kendaraan ini sangat kencang sekali, dan kerap menyelip diantara kendaraan lain tanpa ampun. naaah.. apabila pemerintah telah melakukan legalisasi terhadap ojeg, diharapkan pengguna ‘ojeg’ tidak menjadi korban perlakuan semena-mena pengojeg dalam urusan penarikan ongkos. meskipun usaha melegalkan ‘ojeg’ diyakini dapat menambah jumlah motor di jalan raya Ibukota. tapi paling tidak melegalkan ‘ojeg’ masih sedikit lebih baik ketimbang melegalisasi NARKOBA LAKNAT.

http://sosbud.kompasiana.com/2011/05/11/ketimbang-legalisasi-narkoba-mending-legalisasi-ojeg/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar